Mitos Pekerjaan Terstandardisasi

Masaki Imai dalam bukunya Kaizen: The Key to Japan’s Competitive Success mengatakan dia belajar bahwa tidak akan ada kaizen (perbaikan berkesinambungan) tanpa standardisasi. Di Toyota pekerjaan terstandardisasi (standardized work) ditujukan sebagai pondasi untuk kaizen. Jika pekerjaan tidak distandardisasi dan senantiasa berbeda setiap waktu, maka tidak ada dasar untuk evaluasi, maksudnya tidak ada titik referensi untuk membandingkan perubahannya.

Standardisasi bukan merupakan serangkaian dokumen yang disiapkan dan dikendalikan dengan hati-hati. Standardisasi merupakan cara untuk menciptakan kinerja sekonsisten mungkin. Akan sangat mudah untuk menuliskan pekerjaan terstandardisasi dan menempelkannya di tempat kerja. Tetapi belum tentu ditaati oleh pelaksana dan dirasakan manfaatnya. Oleh karenanya setelah dibuat, pekerjaan terstandardisasi tersebut harus terus-menerus diaudit, dianalisa dan diperbaiki sesuai proses yang lebih baik.

Graban selalu mengajarkan bahwa standardisasi bukanlah tujuan. Tujuannya adalah keamanan yang lebih baik, kualitas, akses (waktu tunggu), biaya, dan moral staf – ini adalah tujuan umum dari sebuah organisasi lean (Graban, 2010). Karena kita sangat memperhatikan moral staf, kita harus berpikir tentang bagaimana orang-orang akan rasakan jika mereka dipaksa untuk mengikuti prosedur yang sewenang-wenang – apakah ini baik untuk moral? Mungkin tidak, terutama di kalangan profesional yang sangat terampil. Harus ada pernyataan “mengapa?” yang jelas untuk standardisasi dengan cara tertentu. Contohnya: Mengapa melakukannya secara konsisten baik untuk kualitas?

Pada awalnya proses standardisasi itu bisa dipaksakan untuk dilakukan, tetapi agar terjadi kaizen, standardisasi tersebut perlu melibatkan pelaksana. Orang yang melakukan pekerjaan memahaminya dengan cukup mendetail hingga ia dapat memberikan kontribusi terbesar terhadap standardisasi.

Jika seseorang secara kreatif memperbaiki pekerjaan tapi tidak menjadikannya standar tertulis dan mensosialisasikannya, maka pekerjaan tersebut hanya akan membaik ketika orang itu sendiri yang mengerjakannya. Sedangkan orang lain tidak ada yang akan melakukan perbaikan tersebut.

Dokumen Pekerjaan Terstandardisasi

Ada tiga dokumen utama di Toyota yang digunakan untuk mengembangkan pekerjaan terstandardisasi dan banyak dokumen lainnya yang berhubungan atau yang mendukung. Tiga dokumen utama tersebut adalah:

  1. Standardized Work Chart/Bagan Pekerjaan Terstandardisasi
  2. Standardized Work Combination Table/Tabel Kombinasi Pekerjaan Terstandardisasi
  3. Production Capacity Sheet/Lembar Kapasitas Produksi

 

Mitos Pekerjaan Terstandardisasi

Pekerjaan terstandardisasi yang mengadopsi Toyota Production System belum sepenuhnya terimplementasi di manufacturing GarudaFood. Pekerjaan terstandardisasi baru mulai dikerjakan di dua pabrik, yaitu GPPJ Gresik dan GPPJ Pati Coated.

Di dalam buku The Toyota Way Fieldbook (Liker, Meier, 2006) terdapat uraian tentang mitos-mitos dari pekerjaan terstandardisasi. Meski di manufacturing GarudaFood pekerjaan terstandardisasi itu belum sepenuhnya dijalankan, tulisan ini bermaksud untuk membandingkan mitos-mitos tersebut terhadap keseluruhan pelaksanaan Standard, Work Instruction (WI) dan Standard Operating Procedure (SOP) di manufacturing GarudaFood. Di dalam buku tersebut dibahas enam mitos, tetapi dalam tulisan ini akan dibahas lima mitos karena sudah mewakili.

Standard, WI dan SOP di GarudaFood berbeda format dan isinya dengan pekerjaan terstandardisasi, akan tetapi jika pekerjaan terstandardisasi itu masih dirintis dan dicoba di manufacturing GarudaFood sehingga sampai sekarang masih mengandalkan Standard, WI dan SOP, maka seharusnya mitos-mitos dari pekerjaan terstandardisasi itu lebih tidak boleh ada di manufacturing GarudaFood.

Mitos 1: Jika kita memiliki pekerjaan terstandardisasi, setiap orang dapat mempelajari segala hal mengenai pekerjaan tersebut dengan melihat dokumen.

Dalam dokumen pekerjaan terstandardisasi dapat terlihat bahwa deskripsi pekerjaan menjelaskan elemen pekerjaan secara mendasar — informasi yang sama sekali tidak mencukupi untuk dapat benar-benar memahami suatu pekerjaan. Demikian juga jika sebatas Standard, WI dan SOP.

Perlu ada metode untuk mentransfer pengetahuan lengkap tentang suatu pekerjaan kepada anggota tim. Hal ini merupakan proses yang panjang, karena banyak hal yang harus dipelajari untuk menjadi seorang karyawan yang berkualifikasi. Sedikit sekali pekerjaan yang sangat sederhana sehingga “apa saja yang perlu diketahui” bisa tertuang dalam beberapa lembar kertas.

Tetapi minimal dengan adanya Standard, WI dan SOP karyawan bisa memperoleh informasi dan gambaran awal bagaimana dia akan melakukan pekerjaannya. Hal ini tentunya akan mempermudah proses pembelajaran dari karyawan.

 

Mitos 2: Kita dapat memasukkan semua detil pekerjaan dan standar ke dalam dokumen terstandardisasi.

Pekerjaan terstandardisasi bukanlah suatu alat yang dapat melakukan segalanya. Pekerjaan terstandardisasi merupakan suatu alat yang secara spesifik digunakan untuk mengidentifikasikan dan menghilangkan pemborosan. Setelah metode kerja yang paling efektif ditetapkan, proses yang didokumentasikan digunakan sebagai referensi visual untuk memastikan agar standar dipenuhi. Standard, WI dan SOP juga demikian. Ketiganya bisa saling melengkapi tetapi tetap terbatas informasinya.

Pekerjaan terstandardisasi tidak selalu berarti sebuah dokumen yang panjang dan rinci. Graban berpendapat pekerjaan terstandardisasi adalah tentang tiga pertanyaan:

  1. Siapa melakukan apa?
  2. Kapan kita melakukannya?
  3. Bagaimana kita melakukannya?

Mitos 3: Kita akan menempel dokumen sehingga operator dapat melihat
dokumen setiap hari untuk mengingat bagaimana melakukan pekerjaan.

Standar visual ataupun prosedur yang ditempel di dinding ruang kerja tidaklah ditujukan untuk dibaca dan dipelajari secara terus menerus oleh pelaksana. Sekali pelaksana sudah mengingat dan menguasai pekerjaannya maka dia tidak perlu lagi melihat standar visual atau prosedur tertempel tersebut. Selanjutnya standar visual atau prosedur tertempel tersebut digunakan oleh manajemen untuk mengaudit ketaatan pelaksana terhadap standar atau prosedur yang telah ditetapkan.

 

Mitos 4: Karyawan mengembangkan pekerjaan terstandarisasi mereka sendiri.

Mitos ini sebagian benar. Karyawan bisa mengembangkan metode yang lebih baik dari pekerjaan terstandarisasi melalui Sumbang Saran (SS), focus group discussion, Small Group Activity (SGA), Cross Functional Team (CFT), dan sarana lainnya. Tetapi metode yang diusulkan tersebut selalu direview oleh pihak lain, termasuk manajemen. Baru setelah disetujui, metode baru itu kemudian diterapkan dan distandarisasi menggantikan SOP, WI atau Standard lama.

Jika setiap orang sepakat bahwa tujuan yang diinginkan adalah untuk menciptakan suatu metode kerja yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan dengan sedikit mungkin pemborosan, bukan berarti karyawan memiliki kebebasan untuk menciptakan pekerjaan dengan cara apapun yang mereka inginkan. Mereka tetap harus mengikuti aturan dan panduan tertentu. Demikian pula tetap memperhatikan faktor PQCDSM (Productivity, Quality, Cost, Delivery, Safety, Morale).

 

Mitos 5: Jika kita memiliki pekerjaan terstandarisasi, operator akan melakukan pekerjaan dengan benar dan tidak akan menyimpang dari standar.

Hal ini mungkin merupakan mitos yang paling tidak masuk akal. Mendefinisikan pekerjaan dan mendokumentasikannya di atas kertas masih jauh dari kinerja yang baik. Hal inilah yang banyak terjadi di manufacturing GarudaFood dimana seorang leader sudah merasa cukup hanya dengan membuatkan WI. Leader umumnya lupa bahwa untuk menjamin WI yang dibuatnya telah dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan adalah dengan mengawasi dan melakukan audit di lapangan. Tidak ada satu hal pun dalam pekerjaan terstandardisasi yang dapat mencegah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang pelaksana kecuali kesadaran visual dari orang lain. Apabila ditemukan beberapa kali penyimpangan, hal ini akan segera menarik perhatian dan ketika menyelidiki keadaan tersebut, leader akan memeriksa kepatuhan terhadap standar.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap standar, kita perlu meniadakan pilihan yang terdapat dalam daerah kerja dan menyingkirkan “area abu-abu”. Jika setiap penyimpangan terhadap standar dapat segera dikenali, dan ada konsekuensi negatifnya, maka standar akan dipatuhi.

Satu poin akhir – apa yang terjadi ketika seorang leader melihat seseorang tidak mengikuti pekerjaan terstandardisasi? Kita tidak perlu berteriak. Kita tidak perlu membuat komentar tanpa dipikirkan yang menekan mereka menjadi sesuai. Kita tidak perlu memasang wajah yang mengatakan “Apa yang salah dengan kamu?”
Hal terbaik yang dapat kita lakukan – bertanya “Mengapa?” Mungkin ada alasan yang baik (dan itu OK). Mungkin karyawan tidak memahami pekerjaan terstandardisasi dan mereka membutuhkan pembinaan lebih – jadilah pelatih, bukan polisi.

Jika kita memaksa kesesuaian dengan menutup mata, kita akan membunuh kaizen. Organisasi kita mulai mati.

Referensi:

Liker, Jeffrey K., Meier, David. The Toyota Way Fieldbook. McGraw-Hill, 2006.

Graban, Mark. My Thoughts on Standardized Work. http://www.leanblog.org/2010/02/my-thoughts-on-standardized-work/

2 Komentar (+add yours?)

  1. dini
    Jan 18, 2019 @ 07:07:44

    thanks buat infonya

    Balas

Tinggalkan Balasan ke dini Batalkan balasan