Leading Change

Ada sangat banyak artikel, karya ilmiah, buku yang membahas tentang perubahan dalam suatu organisasi dan bagaimana cara memimpin suatu perubahan. Kalau kita masukkan kata kunci untuk buku “change management” di Amazon.com maka akan keluar 12.183 judul yang masing-masingnya membahas topik yang berbeda. Ini menunjukkan ada banyak ide yang ditawarkan tentang bagaimana eksekutif menjalankan manajemen perubahan yang sukses.

Dari berbagai ide tentang manajemen perubahan, artikel ini mencoba mensarikan apa yang tertulis di dalam dua artikel rujukan terkait pendekatan dalam melakukan perubahan dan faktor-faktor yang akan mempengaruhi sukses tidaknya suatu inisiatif perubahan.

Banyak contoh perubahan yang dilakukan perusahaan antara lain total quality management, rekayasa ulang, right sizing, restrukturisasi, perubahan budaya, turnaround, dan memasang teknologi baru. Semuanya dilakukan dengan tujuan dasar yang sama yaitu membuat perubahan mendasar tentang bagaimana bisnis dijalankan untuk mengatasi lingkungan pasar yang baru yang lebih menantang.

Ada dua pola dasar tentang mengapa dan bagaimana perubahan itu seharusnya dilakukan. Yang pertama adalah Teori E atau pendekatan “keras” dimana perubahan itu didasarkan atas nilai ekonomi. Sedangkan yang kedua adalah Teori O atau pendekatan “lunak” dimana perubahan didasarkan atas kemampuan organisasi. Pada pendekatan keras nilai pemegang saham adalah satu-satunya ukuran yang sah dari kesuksesan perusahaan. Perubahan biasanya dilakukan dengan insentif ekonomi, merumahkan secara drastis, perampingan, dan restukturisasi. Sedangkan pada pendekatan lunak, tujuannya adalah membangun budaya perusahaan dan kemampuan insani melalui pembelajaran individu dan organisasi seperti proses untuk berubah, memperoleh umpan balik, refleksi, dan membuat perubahan lebih lanjut.

Hanya sedikit perusahaan yang menerapkan hanya salah satu teori. Kebanyakan perusahaan menggunakan gabungan dari keduanya. Keinginan untuk mengkombinasikan ini arahnya sudah tepat, tetapi Teori E dan O sangat berbeda sehingga sulit untuk mengelolanya secara bersamaan. Karyawan akan tidak mempercayai pemimpin yang bergantian memelihara dan membunuh perilaku perusahaan.

Cara yang jelas untuk mengkombinasikan E dan O adalah dengan mengurutkannya. Beberapa perusahaan, khususnya General Electric telah melakukannya dengan sangat sukses. Di GE, CEO Jack Welch memulai perubahan berurutannya dengan memaksakan restrukturisasi tipe-E. Dia menuntut semua bisnis GE menjadi yang pertama atau kedua di industri masing-masing. Jika tidak, unit tersebut akan diperbaiki, dijual, atau ditutup. Welch mengikuti langkah itu dengan perampingan yang masif pada birokrasi GE. Antara tahun 1981 dan 1985, total karyawan dari korporasi jatuh dari 412.000 ke 299.000. 60% dari staff korporat dirumahkan, terutama dari bagian planning dan finance.

Setelah dia memeras yang beban itu, Welch mengadopsi strategi O. Di tahun 1985, dia memulai serangkaian inisiatif organisasi untuk mengubah budaya GE. Dia mendeklarasikan bahwa perusahaan akan menjadi ”tanpa batas”, dan pemimpin unit di seluruh korporasi harus menerima ditantang oleh bawahannya di forum terbuka. Umpan balik dan komunikasi terbuka dengan cepat mengikis hirarki struktural.

Tetapi problem yang pasti dengan mengurutkan adalah memakan waktu yang sangat lama. Di GE proses itu memakan waktu hampir dua dekade. Selain itu dibanyak kasus, usaha yang dianggap terbaik untuk mengembalikan kepercayaan dan komitmen karyawan jarang bisa mengatasi masa lalu yang berdarah-darah sebagai dampak penerapan Teori E.

Menerapkan Teori E dan O bersama adalah memungkinkan, tetapi membutuhkan keinginan yang kuat, ketrampilan, dan kebijaksanaan. Perusahaan yang dengan efektif mengkombinasikan pendekatan keras dan lunak dapat memperoleh hasil yang memuaskan dalam hal profitabilitas dan produktifitas. Perusahaan-perusahaan itu nampaknya akan meraih keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

Untuk mewujudkannya manajemen puncak diantaranya perlu untuk secara jelas merangkul perbedaan antara tujuan nilai ekonomi dan kemampuan organisasi, menetapkan arahan dari atas dan melibatkan karyawan dari bawah, serta fokus secara bersamaan pada pembenahan struktur dan sistem serta budaya perusahaan.

Faktor yang Berpengaruh

Sebelumnya sudah dibahas tentang pendekatan yang dilakukan eksekutif dalam melakukan perubahan. Sekarang akan dibahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya eksekusi suatu inisiatif atau proyek atau program perubahan.

Faktor-faktor yang berpengaruh tidak hanya budaya perusahaan, kepemimpinan visioner atau gaya kepemimpinan, komunikasi dengan karyawan, motivasi karyawan, sikap dan hubungan relasi, tetapi juga faktor-faktor seperti waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan inisiatif perubahan dan hasil finansial yang diharapkan dicapai.

Selain faktor-faktor di atas Boston Consulting Group (BCG) mengungkapkan empat faktor yang mempengaruhi hasil (sukses atau gagal) dari program perubahan yaitu durasi proyek (duration), terutama sekali waktu antar tinjauan proyek; integritas kinerja (integrity), atau kemampuan dari tim proyek; komitmen (commitment) baik dari eksekutif senior maupun staf yang paling terkena dampak dari perubahan; dan usaha (effort) tambahan yang harus dilakukan karyawan untuk mengatasi perubahan. BCG menyebut variabel-variabel ini faktor DICE.

Perusahaan dapat menentukan apakah program perubahan mereka akan sukses atau gagal dengan menanyakan ke eksekutif penilaian mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

Duration [D]: Apakah tinjauan proyek dilakukan secara teratur? Jika proyek akan membutuhkan waktu lebih dari dua bulan untuk diselesaikan, berapakah waktu rata-rata antar tinjauan?

Integrity of Performance [I]: Apakah pemimpin tim berkemampuan? Seberapa kuat ketrampilan dan motivasi anggota tim? Apakah mereka memiliki waktu yang cukup untuk digunakan dalam inisiatif perubahan?

Senior Management Commitment [C1]: Apakah eksekutif senior secara teratur mengkomunikasikan alasan dilakukan perubahan dan pentingnya suksesnya perubahan? Apakah pesannya meyakinkan? Apakah pesan tersebut konsisten, baik diseluruh tim manajemen puncak dan sepanjang waktu? Apakah manajemen puncak menyediakan sumberdaya yang cukup untuk program perubahan?

Local-Level Commitment [C2]: Apakah karyawan yang paling terkena dampak dari perubahan memahami alasan kenapa berubah dan meyakini bahwa perubahan itu bermanfaat? Apakah mereka antusias dan mendukung atau cemas dan menghalangi?

Effort [E]: Berapa persenkah tambahan kerja yang harus dilakukan oleh karyawan untuk mengimplementasikan upaya perubahan? Apakah penambahan upaya itu muncul pada saat beban kerja yang memuncak? Apakah karyawan menentang dengan kuatnya tambahan permintaan atas mereka?

Rujukan:

Beer, M., Nohria, N. Cracking The Code of Change. Harvard Business Review. Mei-Juni 2000.

Sirkin, H.L., Keenan, P., Jackson, A. The Hard Side of Change Management. Harvard Business Review. Oktober 2005.

4 Komentar (+add yours?)

  1. Antiningsih
    Okt 11, 2010 @ 09:41:53

    nice post…

    Balas

  2. Antiningsih
    Okt 11, 2010 @ 09:42:52

    tulisan yang menarik

    Balas

Tinggalkan komentar